PictSource: logosgogos.tumblr.com
“Kamu percaya tentang makhluk halus yang sering keluar saat magrib
untuk mengambil anak- anak yang masih berkeliaran?”
Senja memecah keheningan
dengan pertanyaannya. Seperti biasa di setiap akhir kalimatnya dia akan
tersenyum menampakkan lesung pipi yang membuat kadar kecantikannya bertambah.
“Tidak, tapi orang- orang di sekitar rumahku masih percaya akan hal
itu, katanya jika diculik anak- anak akan dibawa ke pohon yang tinggi dan
diberi makan tai kuda.”
Raut mukanya berubah menjadi
cemberut, bibirnya terkatup, alis matanya Nampak turun ke bawah seolah saling
bertautan satu sama lain.
“Menjijikkan.” Ucapnya
Aku tertawa kecil mendengar
umpatannya. Aku kenal betul dengan perempuan yang satu ini, perempuan yang
senang sekali mengikat rambutnya, perempuan yang sedari dulu kukenal sangat
membenci pelajaran fisika.
“Kurang kerjaan banget sih,
ngitung kecepatan buah jatuh dari pohon.”
Itu yang sering dia ucapkan
saat kami masih duduk dibangku sekolah menengah atas. Perempuan bernama Senja
ini juga termasuk perempuan yang gemar sekali merasa jijik, walau itu hanya
sekedar ucapan seperti tai atau ketiak. Pernah suatu kali aku menggodanya
dengan mengirimkan foto ketiakku via blackberry messenger, langsung saja dia
mendiamiku keesokan harinya. Tetapi
setiap kali mendiamiku seperti itu, tak butuh waktu lama, dia juga akan
menghubungiku duluan dan mengucapkan kata- kata andalannya..
“Kamu itu ngangenin banget sih.”
Dan kalimat itu akan
membuatku tersenyum sepanjang hari.
“Terimakasih ya, sudah menemaniku membeli baju buat natal.”
Aku mengangguk kecil. Sudah
pukul 17.30, hari ini melelahkan, dan dia menyejukkan. Seharian aku menemaninya
berkeliling Mall Panakukkang, menemaninya masuk ke satu demi satu toko baju
kesukaannya.
“Kamu suka memandangi senja?”
Dia mulai bertanya lagi, mungkin heran karena melihatku terus-
terusan memandangi jingga yang sedikit demi sedikit mulai gelap.
“Memandangi kamu maksudnya?.” Aku tertawa kecil mendengar
pertanyaannya
“Bukan iih.” Jawabnya sambil mencubit lenganku yang justru malah
membuatku tertawa geli melihat ekspresi wajahnya. “Serius Fajarrrrrr.”
“Tidak.”
Hening tercipta, hanya terdengar shalawat dari Masjid yang ada tak
jauh dari tempat kami duduk.
“Kenapa, Jar?”
“Kamu mau tau? Aku benci sekali senja dan fajar, aku iri melihat
senja dan fajar yang bisa tetap indah walau mereka tak bersama. Aku benci
mengingat bahwa Senja dan Fajar berada dalam satu ruang yang sama namun… mereka
tak pernah bisa sejalan dan seiring.”
Hembusan nafasku menderu,
Senja Prameswari membeku. Kami diam, tak ada yang berani membuka suara.
“Ya, aku pun begitu. Aku
juga muak dengan Senja dan Fajar yang bisa indah tanpa bersama- sama. “
Air matanya menetes, namun
aku tak mampu berbuat apa- apa.
“Kau mau tau, Fajar?
Berpisah mungkin bisa membuat kita lebih indah, bersamamu memang sangat jauh
dari kata mudah, tapi tak bersamamu tak lantas membuatku bisa berjalan dengan
nyaman.”
Kami diam. Tak bersuara, hingga Adzan memecah keheningan kami..
“Allahu-Akbar-Allahu-Akbar.”
“Aku ke Masjid ya,
pulanglah. Aku janji akan datang pernikahanmu, sampaikan salam ke Ayahmu, katakan
bahwa doanya terkabul, “Aku sudah menyerah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar