Minggu, 18 Januari 2015

Senja dan Fajar



 



 PictSource: logosgogos.tumblr.com




“Kamu percaya tentang makhluk halus yang sering keluar saat magrib untuk mengambil anak- anak yang masih berkeliaran?”

 Senja memecah keheningan dengan pertanyaannya. Seperti biasa di setiap akhir kalimatnya dia akan tersenyum menampakkan lesung pipi yang membuat kadar kecantikannya bertambah.

“Tidak, tapi orang- orang di sekitar rumahku masih percaya akan hal itu, katanya jika diculik anak- anak akan dibawa ke pohon yang tinggi dan diberi makan tai kuda.”

 Raut mukanya berubah menjadi cemberut, bibirnya terkatup, alis matanya Nampak turun ke bawah seolah saling bertautan satu sama lain.

“Menjijikkan.” Ucapnya

 Aku tertawa kecil mendengar umpatannya. Aku kenal betul dengan perempuan yang satu ini, perempuan yang senang sekali mengikat rambutnya, perempuan yang sedari dulu kukenal sangat membenci pelajaran fisika.

 “Kurang kerjaan banget sih, ngitung kecepatan buah jatuh dari pohon.”

 Itu yang sering dia ucapkan saat kami masih duduk dibangku sekolah menengah atas. Perempuan bernama Senja ini juga termasuk perempuan yang gemar sekali merasa jijik, walau itu hanya sekedar ucapan seperti tai atau ketiak. Pernah suatu kali aku menggodanya dengan mengirimkan foto ketiakku via blackberry messenger, langsung saja dia mendiamiku keesokan harinya.  Tetapi setiap kali mendiamiku seperti itu, tak butuh waktu lama, dia juga akan menghubungiku duluan dan mengucapkan kata- kata andalannya..

“Kamu itu ngangenin banget sih.”

 Dan kalimat itu akan membuatku tersenyum sepanjang hari.

“Terimakasih ya, sudah menemaniku membeli baju buat natal.”

 Aku mengangguk kecil. Sudah pukul 17.30, hari ini melelahkan, dan dia menyejukkan. Seharian aku menemaninya berkeliling Mall Panakukkang, menemaninya masuk ke satu demi satu toko baju kesukaannya.

“Kamu suka memandangi senja?”

Dia mulai bertanya lagi, mungkin heran karena melihatku terus- terusan memandangi jingga yang sedikit demi sedikit mulai gelap.

“Memandangi kamu maksudnya?.” Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya

“Bukan iih.” Jawabnya sambil mencubit lenganku yang justru malah membuatku tertawa geli melihat ekspresi wajahnya. “Serius Fajarrrrrr.”

“Tidak.”

Hening tercipta, hanya terdengar shalawat dari Masjid yang ada tak jauh dari tempat kami duduk.

“Kenapa, Jar?”

“Kamu mau tau? Aku benci sekali senja dan fajar, aku iri melihat senja dan fajar yang bisa tetap indah walau mereka tak bersama. Aku benci mengingat bahwa Senja dan Fajar berada dalam satu ruang yang sama namun… mereka tak pernah bisa sejalan dan seiring.”

 Hembusan nafasku menderu, Senja Prameswari membeku. Kami diam, tak ada yang berani membuka suara. 

 “Ya, aku pun begitu. Aku juga muak dengan Senja dan Fajar yang bisa indah tanpa bersama- sama. “

 Air matanya menetes, namun aku tak mampu berbuat apa- apa.

 “Kau mau tau, Fajar? Berpisah mungkin bisa membuat kita lebih indah, bersamamu memang sangat jauh dari kata mudah, tapi tak bersamamu tak lantas membuatku bisa berjalan dengan nyaman.”

Kami diam. Tak bersuara, hingga Adzan memecah keheningan kami..

 “Allahu-Akbar-Allahu-Akbar.”

 “Aku ke Masjid ya, pulanglah. Aku janji akan datang pernikahanmu, sampaikan salam ke Ayahmu, katakan bahwa doanya terkabul, “Aku sudah menyerah”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar