Rabu, 31 Juli 2013

Menuju Makassar




pic: sandinimochi.wordpress.com
 Saya tidak pernah suka untuk mengucapkan selamat tinggal. Saya juga tak pernah pandai untuk memilah mana yang harus dibawa dan mana yang harus ditinggalkan.

 Sore ini, saya berangkat ke Makassar untuk mewakili kantor pada seminar kebudayaan. Sebenarnya saya terlalu malas dalam hal seperti, apalagi ke Makassar yang memakan jarak tempuh sekitar 5 jam perjalanan.
 “Ah, lagi- lagi paling belakang.”

Ada alasan mengapa saya tak pernah suka untuk duduk di kelas paling belakang, bukan karena pengap atau apa, tapi dengan tinggi 183 cm ini membuat kepala harus terpaksa kutundukkan agar tak menyentuh atap mobil dan tentunya kedua kaki panjang ini juga harus dibengkokkan sedemikian rupa, ya bisa dibayangkan bagaimana menderitanya.

Tak lama berselang, saya melihat seseorang yang masuk dan duduk di kursi paling depan, persis disamping sang montir. Walau hanya melihat sekilas wajahnya, tapi saya dibuatnya ragu, ini bidadari atau manusia, otakku kacau.

 Satu setengah jam perjalanan, saya terus memandangnya dari belakang, dia sibuk memainkan handphone, namun sesekali wajahnya terpantul pada cermin persegi panjang tepat diatas kepalanya, ah sayang sekali tak terlalu nampak, malam mungkin iri.

 Tibalah untuk singgah pada sebuah rumah makan kecil, lagi- lagi saya belum berani untuk sekedar mengucapkan salam perkenalan, ah iya saya juga belum tahu warna bola matanya, tadi dengan samar sepertinya berwarna cokelat tapi entahlah aku tak terlalu yakin. Dia berada tepat di satu meja di depan saya, dia memesan semangkuk mie kuah yang asapnya masih mengepul kuat, ah ingin sekali saya berada di sampingnya untuk sekedar meniupkan sendok demi sendok mie kuahnya.

 Kami bertemu di kasir, ah betul warna matanya memang coklat. Bibirnya tipis, dan dia memberiku senyum bersama dua lesung pipi yang sangat dalam. Hampir pingsan saya dibuatnya.

 Mobil kembali melaju, sedari tadi saya tak pernah memejamkan mata, mata saya hanya terfokus pada sosok wanita bermata cokelat yang langsung membuat jatuh. Sepertinya benar, jatuh cinta itu memang indah.

 Dia tertidur tapi beberapa kali terbangun karena jalanan yang terlalu berkelok sehingga membuat kepalanya harus terbentur pada kaca jendela.Seandainya bisa, saya ingin duduk disana, memberikannya sandaran agar bisa tertidur pulas. Seandainya..

 Makassar..
 Mobil ini hanya menyisakan 4 penumpang, saya, perempuan itu, serta sepasang suami istri. Mobil berhenti, perempuan itu lalu turun, saya juga turun sejenak dengan alasan untuk meluruskan tubuh, dia memberiku senyum..

“Danu, kamu?”

Belum sempat membalas uluran tanganku, seorang anak kecil bersama lelaki seumuranku datang dan memeluk perempuan itu.

“Mamaaaaa, rinduuuu”

Pikiranku kacau..

“Berangkat dari jam berapa?”

“Dari jam lima pa.”


Sepertinya jatuh cinta tak seindah yang orang katakan.




 Menjelang Sahur..