Sabtu, 28 Juni 2014

Semuanya tentangmu




 
itzah-cecret.tumblr.com


 
 Aku senang sekali menatapmu dalam- dalam. 

Beberapa kali aku ingin berada tak bersekat denganmu, aku berharap bisa kau peluk sehangat pelukanmu pada guling berampul hello kitty kesayanganmu, jadi disinilah aku seorang yang hanya bisa menatapmu dalam- dalam karena takut mendekat agar kau tak beranjak pergi.

 Aku senang sekali menjagamu dalam hening malam.

Senyumku takkan pernah mengembang jika melihat tak ada senyum diwajah tirusmu. Tahukah kau bahwa denging- denging yang kau benci itu akan selalu berusaha kuredam? Tahukah kau bahwa aku mengorbankan malamku untuk menjaga malammu? Tahukah kau bahwa.... ah sudahlah kau tak perlu tahu. Kau cukup tersenyum. Itu sudah sangat cukup buatku.

 Aku suka dan tahu semuanya tentangmu.

Aku suka aroma pakaianmu. Aku suka saat bau melati itu menyapa indra pembauku. Aku suka terlelap disana. Aku bahkan hafal semua warna bajumu. Akupun tahu bahwa kau masih menyimpan foto lelakimu yang lainnya. Aku pernah mendapatinya  dibawah baju hari- harimu, foto lelaki yang dahulu pernah datang kemari dan ditolak mentah- mentah oleh ayahmu. Kau memang pandai sekali menutupi segalanya, aku tahu bahwa kau masih mencintai lelaki itu. Aku tahu semuanya tentangmu.

 Aku sakit melihatmu menangis.

Suatu hari suamimu mengetahui segalanya, aku melihat tangannya mendarat keras di pipimu, cacian dan makian kau dengar, aku melihat pertahananmu runtuh, air matamu tak bisa lagi kau tahan. Ternyata melihatmu menangis lebih menyakitkan lagi buatku.

 Aku yang akan terus disini, menemani dan menjagamu.

Kau tahu, aku ini memang seorang pengecut, terlalu kecil untukmu, terlalu sederhana untukmu, terlalu rendah untukmu. Aku tak akan mampu semanis lelakimu yang akan membuaimu dengan kata- kata romantis, Aku tak akan mampu membawakanmu setangkai mawar putih, Aku tak akan mampu menemanimu makan malam istimewa ke sebuah restoran bintang lima. Tapi.. aku ingin kau menyadari bahwa disaat yang lain meninggalkanmu, aku akan tetap disini, berada di langit- langit kamarmu, menjagamu sebaik-baik mungkin.

@Cicak

Selasa, 24 Juni 2014

Setahun


Kau datang secepat cahaya.
            Menyusupkan cinta hingga tulang belulangku.
            Tapi mengapa kau bertingkah laku seperti senja.
            Kau datang memberiku cinta seindah jingga senja.
            Lalu kau meninggalkanku bersama kelamnya malam.

  Kututup layar laptoku. Baru tiga baris saja sudah membuatku menggigil. Ditinggalkan ataupun meninggalkan oleh seseorang selalu mampu memberikanmu sebuah paket yang bisa saja berisi suka, duka, atau bahkan dua- duanya. Segelas kopi panas yang kuseduh tiga puluh menit yang lalu tak mampu menghangatkanku.
 Setahun berlalu dan sakitnya masih terasa. Arnaldo Purnomo. Seperti namanya lelaki berperawakan 172 cm itu betul-betul kuat, bahunya sangat tegap dan tatapan matanya akan mengingatkan orang- orang pada tatapan mata seekor elang yang tajam.

  Arnaldo Purnomo, lelaki yang 6 tahun lalu kupanggil kak Naldo, lelaki yang 6 tahun lalu memberikan bahunya sebagai sandaran ternyaman saat dunia berusaha menelanku dalam- dalam. Aku ingat betul saat di masa putih abu- abu dulu, kak Naldo lah yang membelaku habis- habisan saat Caroline (seniorku kelas 12) berusaha menggencetku yang akhirnya berujung pada mataku yang sedikit lagi menumpahkan air mata. Masalahnya sepele, aku tak mau bertingkah seperti seorang penyanyi dan menggoyang- goyangkan bokong layaknya itik di depan para murid baru dan para senior. Caroline marah besar dan mengeluarkan seluruh umpatannya kepadaku. Ketika aku benar- benar sudah ingin menangis, seorang lelaki yang belakangan kukenal bernama Arnaldo mengulurkan tangannya kepadaku dan membawaku keluar dari ruangan itu. Waktu itu perasaanku benar- benar carut- marut, dia menenangkanku lalu berbisik “Jangan menangis. Jangan tunjukin kalau kamu lemah. Kamu jangan mau mengeluarkan air matamu untuk sesuatu yang tak penting seperti tadi.”

  Sejak saat itu, aku dan Kak Naldo menjadi dekat dan semakin lama bukan dekat lagi namun telah terikat walaupun belum sampai pada tahap mengikatkan cincin di jemari masing- masing.
 Aku tak tahu sejak kapan hubunganku dengannya merenggang, yang kuingat waktu itu kami sedang liburan ke Pantai Parangtritis untuk merayakan 6 tahun hari jadi kami. Seingatku kami baik- baik saja saat sedang berada disana, aku bahkan masih menyimpan rekam tawa dan senyumnya saat berusaha mengejar dan akhirnya menangkapku setelah berlarian di tepian pantai.

  Tapi, semuanya berbeda sepulangnya dari sana. Dia menghilang tanpa sebab, dan hal itulah yang menyebabkanku depresi berat dan akhirnya memutuskan resign dari kantor. Aku mencari, melangkah ke segala arah, namun yang kutemukan bukanlah sosok bermata elang itu, melainkan hembusan angin berisikan jenuh, letih, dan kawan- kawannya yang memintaku berhenti dan belajar tentang sebuah perasaan bernama keikhlasan.

  Kuingat- ingat lagi, sebelum ke Parangtritis waktu itu, hubungan kami memang beberapa kali mendapat hantaman yang cukup besar, tapi yang paling menyakitkan tentunya saat kak Naldo datang ke Rumah membawakan sekotak cincin. Namun, bekal tersebut tidaklah cukup untuk mendapat sepaket restu dari kedua orangtuaku, terutama restu Abi. Waktu itu Abi benar- benar membuat hatiku remuk, beliau terang- terangan meminta Kak Naldo untuk keluar dari Rumah, dan menyuruhnya untuk melepaskanku.

  Ya, mungkin itulah penyebab kak Naldo menghilang, dia benar- benar sakit hati. Restu Abi benar- benar tak ingin ia berikan kepada Arnaldo Purnomo, lelaki yang begitu rajin ke Gereja dan tak pernah mempersalahkan ketika aku menolak untuk makan siang bersama karena aku sedang puasa di hari senin atau kamis.

 Kuteguk kopi yang sudah mendingin dihadapanku, rasanya tak seenak saat masih hangat tadi, saat dingin pahitnya benar- benar terasa.
 Kuarahkan jemariku ke keyboard laptop dan mengetikkan “facebook.com”
Tiba- tiba satu postingan catatan menarik perhatianku....


5 Menit yang lalu.

Arnaldo Purnomo:
 Setahun kepergianmu Annisa.....
Telah kuikhlaskan ...
Ombak yang menelanmu dalam- dalam di Parangtritis lalu..
 Percayalah, ragamu masih tersimpan hingga urat- urat nadiku.
 Kita tak pernah benar- benar terpisah...
 Tuhan hanya meminta kita untuk bersabar dan berusaha..
 Ya berusaha, berusaha mengumpulkan rindu..
 Lalu nantinya kita tumpahkan bersama pelukan yang erat..


 





 Apa maksudnya kak Naldo menulis status seperti itu? Mengapa ia seolah- olah mengatakan bahwa aku lah yang meninggalkannya? Rasa bingungku semakin menjadi- menjadi ketika kutemukan dibawah catatan itu terdapat sebuah foto.

  Foto sebuah nisan bertuliskan..


Innalillahi wainna ilaihi rojiun
Annisa Saputri
Binti
Wijaya
 




 Aku menangis tanpa air mata..
 Ternyata bukan Naldo yang meninggalkanku, tapi aku yang meninggalkannya..
 Maaf, Aku terlepas dari genggamanmu..
 Maaf, karena aku tak bisa melawan saat ombak berusaha memelukku..

 Maaf, karena telah meninggalkanmu di Parangtritis setahun lalu......





Pada titik kulminasi selasa malam..
                                                                                                                  Ada rindu yang beku
                                                                                                                   Yang tertuang dalam kata