Sabtu, 31 Januari 2015

Sudah Salah



 


 pictsource: www.traxonsky.com

 “Sudah tidur?”

. Aku menikmati setiap percakapan- percakapan kecil kami menjelang dini hari. Dia akan bercerita panjang lebar dengan senyum atau sedih diakhir kalimatnya. Aku senang untuk melawan kantuk demi membaca setiap curahan- curahan hatinya, dia akan bercerita tentang hari- harinya di Kantor, tentang teman kerja yang rok-nya kependekan, bos yang kerjanya hanya marah, ataukah hal- hal kecil seperti kesialannya di pagi hari karena taksinya terlambat datang. Oh iya, aku mengoreksi, aku salah menulis kalimat, bagiku tak ada hal- hal kecil jika itu tentangnya, semua hal tentang wanita itu selalu terlihat besar di mataku. Hmm, sepertinya dia akan marah ketika membaca surat ini, dia akan mengabaikan pesanku berhari- hari dan menulis pesan singkat berisi “Jadi, aku gendut ya?!!!!!”

 Selalu menyenangkan rasanya, membaca setiap pesan- pesan singkatnya, huruf demi huruf yang ia kirimkan seolah bersuara dan menggema dan tak ada yang lebih menyenangkan ketika dia berusaha menenangkanku karena carut marut pekerjaan di Kantor dan permasalahan di Rumah. 

 Ah, aku lupa. Sedari tadi, aku ingin bertanya tentang satu hal. Pernahkah kau mencintai seseorang yang bahkan rupanya hanya pernah kau lihat di sebuah layar lebar hasil karya Alan Turning? | “Tidak, itu adalah sebuah omong kosong” | ya, pasti itu jawabannya, tapi tunggu sampai kau mengalaminya sendiri. Aku merasakannya pada wanita ini. Wanita yang kukenal dari sebuah timeline twitter seorang teman. Wanita yang dipikirannya ingin sekali bisa makan malam romantis dengan lelaki yang menyanyikan lagu payphone. Wanita penggemar berat nasi padang yang enggan mengambil cuti dari pikiranku. Namanya.... ah sudahlah, tak perlu kutulis. Pernah suatu kali kudengar, bahwa orang- orang yang memiliki nama dengan huruf konsonan yang saling berdempetan adalah orang- orang yang pandai, dan hal itu juga berlaku untuk wanita ini. Wanita pemilik dua huruf konsonan berdempetan yang sangat pandai menjawab setiap soal kimia yang kukirimkan.

 Entah ini bernama apa, berjudul apa, berstatus apa. Semua terasa abu- abu, kami seolah berada di sebuah pertigaan , yang kami sendiri tak tahu, ingin menelurusi jalan yang sama, atau berjalan sendiri di jalan masing- masing. 

 “Goodnight ... 

--
“Pa, belum tidur?”

Suara wanita di samping- mengangetkanku, kututup layar laptop dengan tergesa- gesa. Ini kesalahan yang sudah sangat fatal.

Minggu, 18 Januari 2015

Senja dan Fajar



 



 PictSource: logosgogos.tumblr.com




“Kamu percaya tentang makhluk halus yang sering keluar saat magrib untuk mengambil anak- anak yang masih berkeliaran?”

 Senja memecah keheningan dengan pertanyaannya. Seperti biasa di setiap akhir kalimatnya dia akan tersenyum menampakkan lesung pipi yang membuat kadar kecantikannya bertambah.

“Tidak, tapi orang- orang di sekitar rumahku masih percaya akan hal itu, katanya jika diculik anak- anak akan dibawa ke pohon yang tinggi dan diberi makan tai kuda.”

 Raut mukanya berubah menjadi cemberut, bibirnya terkatup, alis matanya Nampak turun ke bawah seolah saling bertautan satu sama lain.

“Menjijikkan.” Ucapnya

 Aku tertawa kecil mendengar umpatannya. Aku kenal betul dengan perempuan yang satu ini, perempuan yang senang sekali mengikat rambutnya, perempuan yang sedari dulu kukenal sangat membenci pelajaran fisika.

 “Kurang kerjaan banget sih, ngitung kecepatan buah jatuh dari pohon.”

 Itu yang sering dia ucapkan saat kami masih duduk dibangku sekolah menengah atas. Perempuan bernama Senja ini juga termasuk perempuan yang gemar sekali merasa jijik, walau itu hanya sekedar ucapan seperti tai atau ketiak. Pernah suatu kali aku menggodanya dengan mengirimkan foto ketiakku via blackberry messenger, langsung saja dia mendiamiku keesokan harinya.  Tetapi setiap kali mendiamiku seperti itu, tak butuh waktu lama, dia juga akan menghubungiku duluan dan mengucapkan kata- kata andalannya..

“Kamu itu ngangenin banget sih.”

 Dan kalimat itu akan membuatku tersenyum sepanjang hari.

“Terimakasih ya, sudah menemaniku membeli baju buat natal.”

 Aku mengangguk kecil. Sudah pukul 17.30, hari ini melelahkan, dan dia menyejukkan. Seharian aku menemaninya berkeliling Mall Panakukkang, menemaninya masuk ke satu demi satu toko baju kesukaannya.

“Kamu suka memandangi senja?”

Dia mulai bertanya lagi, mungkin heran karena melihatku terus- terusan memandangi jingga yang sedikit demi sedikit mulai gelap.

“Memandangi kamu maksudnya?.” Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya

“Bukan iih.” Jawabnya sambil mencubit lenganku yang justru malah membuatku tertawa geli melihat ekspresi wajahnya. “Serius Fajarrrrrr.”

“Tidak.”

Hening tercipta, hanya terdengar shalawat dari Masjid yang ada tak jauh dari tempat kami duduk.

“Kenapa, Jar?”

“Kamu mau tau? Aku benci sekali senja dan fajar, aku iri melihat senja dan fajar yang bisa tetap indah walau mereka tak bersama. Aku benci mengingat bahwa Senja dan Fajar berada dalam satu ruang yang sama namun… mereka tak pernah bisa sejalan dan seiring.”

 Hembusan nafasku menderu, Senja Prameswari membeku. Kami diam, tak ada yang berani membuka suara. 

 “Ya, aku pun begitu. Aku juga muak dengan Senja dan Fajar yang bisa indah tanpa bersama- sama. “

 Air matanya menetes, namun aku tak mampu berbuat apa- apa.

 “Kau mau tau, Fajar? Berpisah mungkin bisa membuat kita lebih indah, bersamamu memang sangat jauh dari kata mudah, tapi tak bersamamu tak lantas membuatku bisa berjalan dengan nyaman.”

Kami diam. Tak bersuara, hingga Adzan memecah keheningan kami..

 “Allahu-Akbar-Allahu-Akbar.”

 “Aku ke Masjid ya, pulanglah. Aku janji akan datang pernikahanmu, sampaikan salam ke Ayahmu, katakan bahwa doanya terkabul, “Aku sudah menyerah”


Selasa, 06 Januari 2015

Tahun Baru



 



 PictSource:
imgarcade.com



 Tahun baru selalu melahirkan sebuah kisah yang baru. 

 Yah, aku menyadari itu.

 Tahun Baru bukan semata- mata pergantian angka. Tapi, bagiku tahun baru adalah perkara berkumpul, dan menghabiskan waktu bersama orang- orang yang aku sayangi. 

 Aku mencintai tahun baru, waktu dimana aku akan bebas minum bergelas- gelas Wine, bergoyang bersama temaramnya lampu, dan pulang ke Rumah sesaat sebelum surya meninggi.

 Diantara tiga kegiatan di atas, yang tentunya paling aku cintai adalah saat ketika aku bebas berpacaran dengan aroma- aroma wine yang begitu memabukkan. Dan, aku semakin jatuh cinta lagi pada Wine, karena pria itu. Pria yang akhirnya kukenal bernama Semesta.

 Semesta mengatakan bahwa meminum Wine sama artinya dengan minum sejarah. Aku masih ingat bagaimana dia mengatakannya, tampangnya serius, alis matanya tajam seolah saling bertautan satu sama lain, dia mengatakannya seolah dia adalah manusia paling paling pintar di dunia ini. Ia lalu melanjutkan tentang filosofi dibalik minuman yang memabukkan itu.

 Ia tak tahu saja, bahwa aku sudah pernah mendengar itu semua. Aku juga pernah membacanya di perpustakaan kampus. Tapi.. aku membiarkannya larut dalam cerita, dan entah mengapa aku senang sekali menatapnya.

 Kau pernah jatuh cinta pada seseorang yang baru saja kau temui? Sebelumnya aku berpikiran bahwa itu adalah sebuah tindakan yang bodoh, bagaimana mungkin perasaan cinta tiba- tiba tumbuh dalam sekejap saja? Ya, awalnya aku berpikiran seperti itu, namun Semesta hadir dan membuyarkan segalanya. Aku sempat bingung, apa benar ini cinta, entahlah tetapi saat dia di dekatku, bercerita tentang wine- wine yang memabukkan, aku menikmatinya, aku merasa bebas tertawa lepas di dekatnya, aroma wine yang keluar dari mulutnya memabukkan, dan ada kupu- kupu yang terus beterbangan di perutku tatkala ia baru saja mencuri- mencuri kesempatan mencium bibirku dalam temaramnya lampu.
 ..


 5 Tahun berlalu,

 Semesta memang selalu punya cara untuk mengejutkan manusianya.

 Tahun baru tak pernah lagi ada wine yang memabukkan.

 Tak ada lagi temaramnya lampu diskotik.

 Tahun Baru yang baru,

“Ma, kita kapan ya bisa tahun baruan bareng papa?”

 Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan putriku.

Sabar sayang, semesta itu pengecut. “Aku Hamil.” Dan ia pergi begitu saja, dan tak kembali.