pic: sandinimochi.wordpress.com |
Saya tidak pernah suka untuk mengucapkan
selamat tinggal. Saya juga tak pernah pandai untuk memilah mana yang harus
dibawa dan mana yang harus ditinggalkan.
Sore ini, saya berangkat ke Makassar untuk
mewakili kantor pada seminar kebudayaan. Sebenarnya saya terlalu malas dalam
hal seperti, apalagi ke Makassar yang memakan jarak tempuh sekitar 5 jam
perjalanan.
“Ah, lagi- lagi paling belakang.”
Ada
alasan mengapa saya tak pernah suka untuk duduk di kelas paling belakang, bukan
karena pengap atau apa, tapi dengan tinggi 183 cm ini membuat kepala harus
terpaksa kutundukkan agar tak menyentuh atap mobil dan tentunya kedua kaki
panjang ini juga harus dibengkokkan sedemikian rupa, ya bisa dibayangkan
bagaimana menderitanya.
Tak lama
berselang, saya melihat seseorang yang masuk dan duduk di kursi paling depan,
persis disamping sang montir. Walau hanya melihat sekilas wajahnya, tapi saya dibuatnya
ragu, ini bidadari atau manusia, otakku kacau.
Satu setengah jam perjalanan, saya terus
memandangnya dari belakang, dia sibuk memainkan handphone, namun sesekali
wajahnya terpantul pada cermin persegi panjang tepat diatas kepalanya, ah
sayang sekali tak terlalu nampak, malam mungkin iri.
Tibalah untuk singgah pada sebuah rumah makan
kecil, lagi- lagi saya belum berani untuk sekedar mengucapkan salam perkenalan,
ah iya saya juga belum tahu warna bola matanya, tadi dengan samar sepertinya
berwarna cokelat tapi entahlah aku tak terlalu yakin. Dia berada tepat di satu
meja di depan saya, dia memesan semangkuk mie kuah yang asapnya masih mengepul
kuat, ah ingin sekali saya berada di sampingnya untuk sekedar meniupkan sendok
demi sendok mie kuahnya.
Kami bertemu di kasir, ah betul warna matanya
memang coklat. Bibirnya tipis, dan dia memberiku senyum bersama dua lesung pipi
yang sangat dalam. Hampir pingsan saya dibuatnya.
Mobil kembali melaju, sedari tadi saya tak
pernah memejamkan mata, mata saya hanya terfokus pada sosok wanita bermata
cokelat yang langsung membuat jatuh. Sepertinya benar, jatuh cinta itu memang
indah.
Dia tertidur tapi beberapa kali terbangun
karena jalanan yang terlalu berkelok sehingga membuat kepalanya harus terbentur
pada kaca jendela.Seandainya bisa, saya ingin duduk disana, memberikannya
sandaran agar bisa tertidur pulas. Seandainya..
Makassar..
Mobil ini hanya menyisakan 4 penumpang, saya,
perempuan itu, serta sepasang suami istri. Mobil berhenti, perempuan itu lalu
turun, saya juga turun sejenak dengan alasan untuk meluruskan tubuh, dia
memberiku senyum..
“Danu,
kamu?”
Belum
sempat membalas uluran tanganku, seorang anak kecil bersama lelaki seumuranku
datang dan memeluk perempuan itu.
“Mamaaaaa,
rinduuuu”
Pikiranku
kacau..
“Berangkat
dari jam berapa?”
“Dari
jam lima pa.”
Sepertinya
jatuh cinta tak seindah yang orang katakan.
Menjelang Sahur..